Di dunia yang bergetar antara cahaya dan bayang-bayang, tidak semua niat dapat dibaca dengan jelas. Apa yang kau tanam dalam hati, bisa jadi tumbuh sebagai duri bagi mata yang curiga. Dalam labirin prasangka, perhatian pun kadang tampak seperti sebuah tipu daya.
Seringkali, dunia menilai dari permukaan dan lupa bahwa ketulusan sering berjalan tanpa jejak, tanpa sorotan, tanpa hiruk-pikuk di media sosial.
Imam al-Ghazali mengingatkan kita dengan lembut:
“Jika kau melihat kebaikan, jangan tanyakan niatnya. Itu urusan Tuhan, bukan milikmu.”
Maka, teruslah melangkah, meski tak ada yang melihat. Berbuat baiklah, meskipun dianggap sia-sia. Cintailah, meski sering dikelirupahami. Sebab ketulusan adalah doa yang naik diam-diam ke langit, tanpa perlu tepuk tangan, tanpa diviralkan, dan tanpa survei kepuasan publik.
Ramadan pun pamit, meninggalkan jejak rindu dan harapan. Idul Fitri hadir membawa pelukan bagi hati yang lelah. Kita semua adalah luka yang sedang belajar untuk saling mengobati. Memaafkan tak seberat memindah samudera. Cukup membuka hati dengan lapang, ingat dengan kasih sayang Allah pada kesalahan kita sendiri, dan belajar dari betapa mulianya akhlak Nabi.
Saat orang lain berkata, “Kami memaafkan tapi tidak melupakan,” kita pun berseru: “Mari kita maafkan, lupakan, dan terus berbuat baik.” Inilah love language dari Allah yang kita raih di hari lebaran ini, setelah berpuasa sebulan lamanya.
Maafkan dirimu sendiri, dan berikan maaf kita kepada yang lain. Untuk itu, ijinkan saya memohon maaf lahir dan batin atas perihnya luka, khilaf yang berulang, prasangka tanpa data, dan kesalahpahaman yang terus dipelihara, serta kejahiliyahan yang dikemas seolah si paling ahli segalanya. Maafin yah
Selamat Idul Fitri 2025. Mari kita rayakan kembalinya fitrah cinta kita kepada Ilahi dan sesama hamba.
Salam hangat dari Melbourne, yang sepi tanpa opor ayam dan kue lapis legit susu, namun kopinya tetap yang terbaik.
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia