• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 11 Mei 2024

Ngalogat

Menakar Penulis Ta'limul Muta'allim Imam Zarnuji

Menakar Penulis Ta'limul Muta'allim Imam Zarnuji
(Ilustrasi: NU Online Jabar/M Rizqy Fauzi).
(Ilustrasi: NU Online Jabar/M Rizqy Fauzi).

Salah satu kitab adab pencari ilmu yang populer di belahan dunia Islam, terlebih lagi di Indonesia adalah kitab Ta'limul Muta'allim. 


Kitab ini disiapkan khusus bagi para pencari ilmu, tidak seperti Tadzkiroh Sami' wal Mutakallimin karya Imam Ibnul Jama'ah, atau Adabul 'alim wal Muta'allimin karya KH. Hasyim Asy'ari, yang bukan saja ditulis untuk pencari ilmu, melainkan untuk para penyampai ilmu ('alim).


Pencari ilmu yang dimaksud bukan hanya pencari ilmu fardlu 'ain ( ulumuddin) seperti yang sering difahami, melainkan meliputi ilmu fardlu kifayah, seperti ilmu kealaman, ilmu sosial, ilmu pertahanan, kesehatan, arsitek, pertanian, dan sebagainya.


Sebelum membahas adab, penulis mengawali dengan pembahasan amat penting ihwal konsep ilmu dan taksonominya, yang sekaligus menjadi penanda demarkasi antara konsep pengetahuan dalam Islam dengan konsep pengetahuan lainnya.


Bagi sebagian pengamat seperti Guru Gembul, kitab ini cukup problemtis, bukan saja problematis pada materi yang disajikan, juga pada sosok penulisnya.


Dikatakan, Imam Zarnuji sang penulis, tidak tercatat dalam buku-buku rekam jejak para ulama, semisal kitab thobaqot, kitab tarikh, dan yang lainnya. Ketidakjelasan informasi tentang Imam Zarnuji sebagai penulis, bagi sang pengamat menambah beban problematis kitab ini. Kejanggalan yang dirasakan sang pengamat sangat mungkin dirasakan yang lain. 


Situasi seperti ini terjadi akibat minimnya bergumul dengan karya-karya ulama dan metodologinya, atau karena memang tergesa-gesa.Padahal selain Ta'limul Muta'allim, didapati kitab-kitab lainnya yang serupa, yang juga populer dan diterima khalayak.


Sebagai contoh kitab Baiquniyah dan Ushul Syasyi. Keduanya sangat populer dan diterima luas di kalangan ilmuwan. Baiquniyah diterima oleh hampir seluruh peneliti ilmu hadits dunia, mulai zamannya sampai hari ini. Ushul Syasyi menjadi semacam kitab babon yang rutin dikaji dalam komunitas ilmiah madzhab Hanafi.


Padahal, baik pengarang Mandhumah Baiquniyah maupun Ushul Syasyi sama-sama tidak ditemukan atau minim informasi akan rekam jejak keduanya. Situasi ini sama sekali tidak mengurangi para pegiat hadits maupun begawan ushul fiqih Hanafi untuk mendarasnya.


Lantas apa argumen ilmiah para ulama otoritatif menerima karya-karya yang dianggap "bermasalah"? 


Di dalam memverifikasi sebuah informasi, epistemologi Islam memungkinkan lahirnya ragam metodologi, yang selain kaya juga canggih, yang tidak dimiliki tradisi keilmuan lain.


Kita mengenal metodologi isnad dalam ilmu hadits, kita pun mengenal amal ahli madinah, konsep masyhur atau istifadhoh, konsep penerimaan kolektif pemilik otoritas (Talaqqil ummah bil qobul) dalam rumpun ilmu fiqih dan ushul fiqih, sampai pendekatan irfani, seperti mimpi, ilham, an lain-lain.


Dalam catatan kecil ini hanya akan digunakan 3 metode dalam mendekati masalah ini, yaitu ; 

  1. Talaqqil ummah bil qobul 
  2. Masyhur atau istifadhoh 
  3. Tautsiqul majhul.

Metode pertama yakni Talaqqil ummah bil qobul. Konsep ini menyatakan bahwa suatu informasi dapat kita percayai karena telah beredar luas disertai penerimaan masif dari para tokoh otoritatif (ahlul ilmi). 


Penerimaan para pemilik otoritas dianggap cukup kuat dijadikan pegangan mereka yang setelahnya. Penerimaan itu dapat diamati dengan banyak disyarahi, dicetak secara beragam dan variatif, diterjemahkan, diajarkan secara turun-temurun di berbagai tempat, banyak disitasi (dikutip) dalam tulisan-tulisan.


Indikasi-indikasi yang sama dapat kita temukan pada Kitab Ta'limul Muta'allim. Kitab ini dicetak di berbagai percetakan, diajarkan di berbagai belahan dunia Islam, disyarahi para ulama setelahnya, juga dikutip dalam karya-karya pendidikan.


Metode kedua yaitu syuhroh atau istifadhoh. Metode ini banyak digunakan dalam disiplin ilmu fiqih dan Ushul fiqih. 


Penalaran konsep ini menyatakan bahwa informasi yang menyebar secara masif, baik di kalangan pemegang otoritas maupun awam memiliki kekuatan tersendiri. Bahkan Masyhur atau syuhroh melampaui kekuatan khobar Ahad yang hanya ditransmisikan satu dua orang, baik secara verbal maupun tulisan.


Metode ketiga yaitu taustiq majhul. Metode khas ilmu hadits ini menyatakan seorang rowi majhul (tidak banyak diketahui) sekalipun dapat diterima informasinya selama diriwayatkan oleh tokoh otoritatif. Ada semacam tazkiyah atau testimoni positif akan kepakaran seseorang.


Karena itu tidak mengherankan jika kitab Ushul Syasyi digunakan kalangan Hanafiyah, meski rekam jejaknya tidak banyak ditemukan.


Begitupun dengan para ahli hadits, mereka tidak memiliki beban intelektual sedikit pun menggunakan Baiquniyah sebagai buku daras, meski sedikit sekali informasi penulis yang dapat digali.


Begitu juga dengan Ta'limul Muta'allim, meski bagi sebagian orang bermasalah, para ulama tidak berhenti mengkaji, mengamalkan, dan mengajarkannya. Bukan hanya di Indonesia, namun di banyak negara Islam.


Adapun kritikan-kritikan lainnya yang dilayangkan kepada kitab ini, baik konten maupun relevansinya dengan pembangunan peradaban dan kemajuan bangsa, akan diulas pada kesempatan lain. Wallahu a'lam.


A Deni Muharamdani, Ketua Lembaga Bahtsul Masail (LBM) MWCNU Karangpawitan Garut


Ngalogat Terbaru