• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 21 Mei 2024

Ngalogat

Keagungan Kitab Minhaj al-Abidin Imam Ghazali

Keagungan Kitab Minhaj al-Abidin Imam Ghazali
Kitab Minhajul Abidin. (Ilustrasi: NU Online).
Kitab Minhajul Abidin. (Ilustrasi: NU Online).

Satu lagi kitab karya Imam Ghazali yang layak diperbincangkan yakni Minhaj al-Abidin (Jalan Para Ahli Ibadah). Mengingat kitab ini selain pembahasannya yang sistematis dan komprehensif, juga mengandung tema-tema yang sesuai dan relevan untuk diambil hikmahnya terutama bagi seorang muslim yang ingin kualitas dan kuantitas ibadahnya meningkat lebih baik. 


Sama seperti halnya kitab Ihya Ulum al-Din, kitab ini juga lahir setelah sang pengarang berhasil menempuh jalan sufisme. Oleh karena itu poin dan tema yang dibahasnya tidak terpaku pada unsur syariat fikih saja, melainkan juga fokus pada unsur tasawuf atau sisi batiniah sebuah amaliah. Pembahasannya  juga tidak hanya bersifat tekstual, tapi juga bersifat kontekstual. Dengan kata lain, unsur hakikat, syariat dan makrifat menjadi inti sari dan pokok pembahasannya. 


Perbedaannya dengan kitab Ihya Ulum al-Din, Minhaj al-Abidin lebih sederhana dan mudah dibaca karena memang dimaksudkan untuk kalangan awam. Jika dalam kitab Ihya Ulum al-Din masih terdapat banyak istilah dan ungkapan yang cukup sulit dimengerti orang awam, terutama yang menyangkut dengan pembahasan seputar asfek batin. Sementara dalam Minhaj al-Abidin, pembahasan terkait dengan filosofis dan ungkapan mistis disederhanakan, mudah dimengerti, dihayati dan dipahami. Bahkan menurut sebagian pengkaji, ungkapan mistis dan filosofis itu bahkan hampir tidak ada atau hilang sama sekali.  


Dari hal itu, tampaknya Imam Ghazali seolah ingin memformulasikan bahwa dunia tasawuf juga amat begitu pentingnya dipelajari oleh orang awam sekalipun. Idiom bahwa tasawuf hanya cocok bagi orang yang sudah mahir mendalami ilmu syariat terbantahkan. Dengan Minhaj Al-Abidin orang awam atau siapapun umat Islam berhak dan mempunyai kesempatan yang sama untuk mendalaminya.  


Kitab Minhaj al-Abidin bisa dibilang karya kitab tasawuf Imam Ghazali yang terakhir setelah Ihya Ulum al-Din. Di dalamnya diuraikan terkait perjalanan yang harus ditempuh seorang muslim untuk menuju makrifat dan mahabbah kepada Allah SWT. Orang yang akan makrifat dan mahabbah harus melewati sekian rintangan dan halangan. Rintangan, godaan, hambatan, atau halangan itu diistilahkan dengan aqabah (tanjakan). 


Aqabah kalau dalam sistematis penulisan kitab, sama halnya dengan bab. Namun, para ulama lebih pas menyebutnya dengan aqabah mengingat poin-poin yang harus diambil dan ditempuh oleh seorang salik tidak bisa sembarangan, dalam artian harus bertahap, step by step, tak bisa loncat ke tahap yang lain sebelum menyelesaikan tahap sebelumnya. 


Ada tujuh tanjakan yang harus ditempuh dan dilalui oleh seorang salik (penempuh jalan/tujuan) untuk mencapai dan menggapai tujuan makrifat dan mahabbah kepada Allah SWT.


Sama seperti Ihya Ulum al-Din, Minhaj al-Abidin juga diawali dengan aqabah ilmu dan makrifat. Imam Ghazali benar-benar sadar bahwa ilmu menjadi landasan penting (dasar dan utama) bagi seseorang yang akan menjalankan ibadah atau amalan-amalan yang bersifat rahasia. 


Adapun alasan aqabah makrifat disimpan dibagian awal, hal itu dimaksudkan untuk mengingatkan bahwa seorang salik mesti tahu tujuan perjalanan sejak awal ketika hendak berjalan. Makrifat itu semacam terminal utama dan terakhir yang harus dituju seorang salik. 


Setelah seorang salik tahu peta dan tujuan perjalanannya, maka ia harus sudah siap untuk menginjakan pengembaraannya ke tahapan selanjutnya, bisa dikategorikan tahap awal yakni aqabah tobat. Pada tahap ini seorang salik harus membersihkan dulu dosa-dosanya pada masa lalu, menyesali dan beritikad baik untuk tidak mengulangin dosanya lagi. 


Setelah itu, seorang salik harus mampu menempuh aqabah selanjutnya yakni berpaling dari godaan. Dalam menjalankan amalan ibadah, tentu seorang salik akan dihadapkan dengan berbagai rintangan seperti dunia, manusia, setan, dan hawa nafsu seorang salik sendiri. Dari keempat rintangan ini, melawan godaan nafsu syahwat pribadi menjadi hal yang paling utama dan sangat sulit untuk diperangi. 


Setelah aqabah yang ketiga dilewati, seorang salik akan menginjak aqabah selanjutnya, yakni aqabah rintangan, aqabah pendorong, aqabah celaan, dan yang terakhir aqabah puji dan syukur. Demikianlah urutan, tahapan tanjakan atau aqabah yang harus dilewati seorang salik dalam menempuh perjalanannya.


Alhasil kitab Minhaj al-Abidin menjadi kitab yang tidak kalah penting sistematis dan komprehensifnya dengan kitab-kitab bercorak tasawuf lainnya. Oleh karenanya, dengan mempelajarinya, itu artinya kita sedang menuju kejalan kemakrifatan dan kemahabbahan. Kiranya hal ini menjadi sesuatu yang mesti kita lakukan. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik


Ngalogat Terbaru