• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 10 Mei 2024

Opini

Puasa dan Kepemimpinan

Puasa dan Kepemimpinan
(Ilustrasi: NU Online).
(Ilustrasi: NU Online).

Kita sepakat bahwa puasa merupakan kewajiban yang dibebankan kepada setiap diri umat Islam. Pemahaman ini diyakini sebagai bentuk penegasan atas ketaatan diri dari seorang hamba kepada sang penciptanya, Allahurabbi. Kesadaran untuk menjalankannya tentu akan tercapai bila dalam diri telah tertanam kuat tekad yang suci dan hakiki. 


Namun, menjalankan ibadah puasa bukan hanya untuk sekedar menahan atau menghentikan asupan gizi saja. Tetapi lebih dari pada itu, berpuasa adalah untuk menahan, mengelola, menyampingkan ego dalam diri yang kadang telah menjadi angkara duniawi. 


Ibadah puasa sama seperti halnya ibadah-ibadah yang lainnya, mensyaratkan pelakunya berperilaku lebih baik pasca melakukannya. Hal inilah yang kemudian menjadikan puasa sebagai ibadah untuk memperbaiki kualitas diri. Jika tidak demikian, benar apa yang disabdakan Nabi, banyak yang berpuasa namun hanya mendapatkan imbalan lapar dan dahaga saja. 


Ibadah puasa erat kaitannya dengan kepemimpinan. Mengapa, karena bagi orang yang puasanya ingin bernilai, segala ucapan dan tindakannya akan mempunyai kontrol diri. Ia paham betul apa yang dilakukannya akan dipinta pertanggung jawabannya. Ia tidak akan mudah mengobral janji, tidak menjadi bagian yang kiranya dapat menyulut perkelahian, tidak menebar kebencian, dan tidak akan pernah menyakiti kepada sesama.
Kondisi ini semua akan tercipta manakala diri kita mampu untuk mengendalikannya. 


Allah SWT berfirman: 


 ۗاِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ اُولٰۤىِٕكَ كَانَ عَنْهُ مَسْـُٔوْلًا  


Artinya: "...Karena pendengaran, penglihatan dan hati nurani, semua itu akan dipinta pertanggungjawabannya." (QS al-Isra [17]: 36). 


Sabda Nabi SAW: 


 أَلَا كُلُّكُمْ رَاعٍ وَكُلُّكُمْ مَسْئُولٌ عَنْ رَعِيَّتِهِ 


Artinya: "Ketahuilah setiap kalian adalah pemimpin, dan setiap kalian akan dimintai pertanggungjawabannya atas apa yang dipimpinnya." (HR Bukhari). 


Ada satu diksi yang patut kita renungkan. Pasca kemenangan Nabi SAW dan para sahabat atas kaum jahiliyah di perang Badar, Nabi berpesan bahwa umat Islam baru saja kembali dari perang kecil yaitu melaksanakan ibadah shaum di bulan Ramadhan menuju kepada perang yang lebih besar, yakni perang melawan hawa nafsu di luar Ramadhan. 


Puasa di bulan Ramadhan dipandang Nabi sebagai bagian dari perang kecil dibanding perang melawan hawa nafsu. Mengapa, karena kewajiban berpuasa hanya berlaku selama satu bulan, sementara kewajiban menahan hawa nafsu berlaku untuk selamanya. Tentunya, kualitas ibadah puasa yang baik akan dipengaruhi oleh sejauh mana orang yang berpuasa itu mampu mengendalikan hawa nafsunya. 


Dengan demikian, seseorang yang mampu menjadikan ibadah puasa di bulan Ramadhannya sebagai bagian untuk memperbaiki diri, untuk meluluh lantahkan nafsu angkara murkanya, maka ia akan menghadapi bulan-bulan berikutnya dengan penuh optimisme. Pada waktu yang sama pula ia akan menjadi sang pemimpin sejati, bukan saja memimpin untuk dirinya sendiri, melainkan menjadi pemimpin untuk alam sekitarnya. Mengapa, karena ia sadar apa yang ia perbuat akan kembali pada dirinya sendiri. 


Allah SWT berfirman: 


فَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ خَيْرًا يَّرَهٗۚ  وَمَنْ يَّعْمَلْ مِثْقَالَ ذَرَّةٍ شَرًّا يَّرَهٗ


Artinya: "Maka barangsiapa mengerjakan kebaikan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya, dan barangsiapa mengerjakan kejahatan seberat zarrah, niscaya dia akan melihat (balasan)nya pula." (QS az-Zalzalah [99]: 7-8)


Wallahu 'alam


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut yang sehari-hari bekerja sebagai tenaga pendidik


Opini Terbaru