Tokoh

Ijazah Surat ad-Dhuha dari KH Awan Sanusi

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 08:23 WIB

Ijazah Surat ad-Dhuha dari KH Awan Sanusi

KH Awan Sanusi. (Foto: FB Awan Sanusi).

Penampilannya sederhana, tatapannya tajam, semangat dan visioner. Demikianlah penulis lihat secara langsung saat untuk pertama kalinya bertemu KH Awan Sanusi saat kegiatan kaderisasi NU di Ponpes Nurul Huda Cibojong, Cisurupan-Garut pada Januari 2025 lalu. 


Secara pribadi, penulis dan almarhum memang belum saling kenal. Selain terpaut jauh secara usia, dalam ruang lingkup organisasi juga, almarhum termasuk salah satu kiai yang merasakan karir organisasi dari tingkatan ranting hingga wilayah. Bisa dibilang almarhum merupakan sebagai kiai yang menapaki perjalanan organisasi dari bawah hingga atas. Sementara penulis pribadi secara pengalaman organisasi jauh di bawahnya. 


Meskipun demikian, penulis kenal dekat dengan almarhum berkat tulisan-tulisannya yang berseliweran di NU Online Jabar. Banyak tulisannya terkait dari ke NU an hingga soal keagamaan. Bahkan dalam rentang satu bulan, kebetulan pada waktu itu di bulan Dzulhijah, beliau pernah menulis terkait dengan ibadah haji hingga belasan seri. 


Dari situ penulis menilai, bahwa kiai ini bukan kiai sembarangan karena mampu merefleksikan kedalaman ilmu agamanya melalui sebuah tulisan. Suatu kemampuan luar biasa dari seorang kiai yang mampu berliterasi hingga diusianya yang tidak muda lagi. 


Satu yang menarik ketika penulis cermati juga yakni nama identitas dari tulisannya, Awan Sanusi. Satu nama yang sama persis dengan struktur pengurus lengkap syuriah NU, A'wan (dewan pakar). Dari sini penulis langsung memberi kesimpulan, bahwa kiai ini kiai yang sudah paham betul akan organisasi NU. 


Kesimpulan penulis akan hal itu terbukti saat penulis mendengarkan langsung paparannya terkait dengan ke NU an saat dirinya didaulat memberikan sambutan atas pengasuh ponpes di acara kaderisasi pada Januari 2025 yang lalu. 


Kala itu, dengan berurutan, terpola dan jelas ia paparkan sejarang kelahiran NU secara detail, termasuk di dalamnya soal tasbih dan tongkat Syaikhona Khilol Bangkalan sebagai restu pendirian NU kepada Hadratusyaikh KH Hasyim As'ari. Selain itu ia jelaskan dengan gamblang pula keberadan geopolitik timur tengah, runtuhnya kekhalifahan Turki Usmani, hingga masifnya pergerakan Wahabi yang melandasi lahirnya organisasi NU. 


Setali tiga uang, kedalaman ilmu agama dan ke NU an yang dimiliki KH Awan Sanusi, penulis alami pula manakala salah seorang Mustasyar MWCNU Kecamatan Leles Ustadz Yusuf Ridwan yang kenal dengan almarhum karena pernah bertugas sebagai kepala KUA Kecamatan Cisurupan memberikan kesaksian akan hal yang sama. 


"Sudah jelas pasti Kiai Awan mempunyai kedalaman organisasi ke NU an yang lebih karena selain ia dilahirkan dan dibesarkan di lingkungan NU, ia merangkak dari bawah hingga bisa menjadi pengurus PWNU Jawa Barat," ucapnya saat memberi kesaksian kepada penulis. 


Ijazah QS ad-Dhuha


Saat tugas kaderisasi di Ponpes Nurul Huda Cibojong, Cisurupan-Garut, penulis tidak terlalu sering bincang-bincang dengan KH Awan Sanusi karena sangat begitu takzimnya penulis kepadanya. 


Kebetulan pada saat itu, hari Ahad siang. Tiba-tiba KH Awan Sanusi masuk ke ruangan instruktur sambil memegang handphone dan menanyakan terkait nama penulis. "Apakah disini ada instruktur bernama Rudi Sirojudin Abas? Ini ada keluarga yang telpon dari Leles," ucapnya. 


Seketika itu saya kaget, dari mana beliau dapat nomor keluarga saya, dan apa kiranya gerangan menanyakan hal yang sepertinya penting sekali.


"Ya kiai," jawab saya.


"Ini ada keluarga dari Leles," ucap Kiai Awan.


Tampaknya ia mendapatkan telpon dari sahabatnya dari Leles, Ustadz Yusuf Ridwan. Kiai Awan mengabarkan bahwa penulis harus segera pulang mengingat ada permasalahan yang harus segera diselesaikan. 


Seketika itu saya langsung menghubungi Ustadz Yusuf Ridwan untuk menanyakan permasalahan yang terjadi. 


Saya harus segera pulang. Demikian ucap Ustadz Yusuf Ridwan karena ada kabar anak saya yang untuk pertama kalinya mondok di pesantren pulang sendirian.


Seketika itu saya kaget, risau dan gelisah mendapatkan informasi demikian. Saya langsung bergegas dan memberanikan diri pamitan kepada KH Awan Sanusi sekaligus meminta doa kepadanya agar permasalahan dapat terselesaikan. 


"Pa kiai, anak saya untuk pertama kalinya mondok di pesantren ketua Tanfidziyah PCNU Kota Cimahi, namun ia pulang sendirian. Kiranya pak kiai dapat memberikan doa agar ia selamat selama di perjalanan," ucap saya kepada Kiai Awan. 


Kiai Awan menjawab: "Baca tiga kali saat beranjak dari rumah Quran Surat ad-Dhuha atau saat diperjalanan dengan niat karena Allah agar tidak terjadi apa-apa dan dapat pulang dengan selamat," ucapnya. 


Singkat cerita penulis pulang, dan saat berada di tengah perjalanan menuju kota Bandung, ada kabar putera saya sudah kembali ke rumah dengan selamat. 


Setelah kejadian itu, penulis kembali bertemu dengan KH Awan Sanusi saat acara di Konfercab PCNU Garut ke-X di Islamic Centre Garut, 15 Februari 2025 lalu. Saat bertemu, penulis bersalaman dan berkata: "saya yang tugas kaderisasi di tempat pak kiai," ucap penulis. Ia  tersenyum tampak bahagia mendengar penjelasan penulis,  bahwa apa yang terjadi pada diri penulis terkait anak yang mondok di pesantren selamat dengan baik. 


Demikianlah kiranya, meskipun sempat bertemu secara tatap muka dua kali bersama KH Awan Sanusi, penulis merasakan kebahagian tersendiri bisa mengenal dengannya, meskipun tidak dekat. 


Bagi penulis, perjuangannya dalam berkiprah di NU dan menjadi sosok teladan dalam segala tindakan terutama soal literasinya, itu sudah lebih dari cukup. Dan yang akan paling dikenang penulis yakni soal ijazah QS ad-Dhuha itu. 


Selamat jalan pak kiai. Insya Allah tenang di alam barzakh. Ilmu yang kiai berikan sudah dirasakan manfaatnya oleh para santri, dan masyarakat secara keseluruhan. Begitu pula bagi organisasi NU. Lahu al-fatihah.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut