Opini

Ketika 14 Siswa Tak Diakui Negara: Kebijakan Tambah Rombel 50 Siswa Mengandung Bom Waktu

Selasa, 8 Juli 2025 | 09:03 WIB

Ketika 14 Siswa Tak Diakui Negara: Kebijakan Tambah Rombel 50 Siswa Mengandung Bom Waktu

Ketua Pergunu Jabar, Saepuloh. (Foto: NU Online Jabar)

Oleh Dr. H. Saepuloh

Antara Keinginan Politik dan Batas Hukum

Dalam Permendikbudristek Nomor 1 Tahun 2021 tentang Standar Nasional Pendidikan, ditegaskan bahwa jumlah maksimal siswa per rombongan belajar jenjang SMA/SMK adalah 36 siswa. Sistem Data Pokok Pendidikan (Dapodik) pun telah mengunci algoritmanya agar tidak menerima input siswa ke-37 dan seterusnya. 

 

Artinya,jika ada 50 siswa dalam satu kelas seperti diamanatkan dalam SK Gubernur tersebut,maka 14 siswa terakhir tidak bisa diinput ke sistem nasional pendidikan. Mereka tidak akan mendapatkan NISN, tidak bisa ikut AN/UN, tidak menerima ijazah resmi, tidak berhak atas dana BOS atau beasiswa, dan secara administratif dianggap tidak sekolah.

 

Ini bukan sekadar kekeliruan teknis,tapi sebuah pelanggaran terhadap hak dasar anak untuk mendapatkan pendidikan yang sah dan diakui negara. 

 

Potensi Maladministrasi dan Audit Bermasalah

SK Gubernur ini juga berpotensi menimbulkan temuan audit dan dugaan maladministrasi. Dalam konteks hukum administrasi negara, kebijakan daerah tidak boleh bertentangan dengan regulasi pusat. Pasal 7 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 menyatakan bahwa Peraturan Menteri lebih tinggi kedudukannya dibanding Keputusan Gubernur.

 

Jika sekolah memaksakan menjalankan SK ini, maka kepala sekolah dan operator Dapodik akan berada dalam dilema serius:mengikuti perintah pimpinan daerah atau tunduk pada sistem nasional.

 

Mewujudkan Akses Tanpa Mengorbankan Legitimasi 

Solusi memperluas akses pendidikan harus dilakukan tanpa melanggar aturan main yang sah. Jika memang ingin menampung lebih banyak siswa, mengapa tidak membentuk rombongan belajar paralel? Atau menggunakan pendekatan shift? Atau membuka jalur SMA Terbuka?

Sekolah swasta pun seharusnya dilibatkan dalam skema PAPS ini. Selama ini mereka memiliki daya tampung lebih longgar, namun sering kali diabaikan dalam alokasi afirmasi anggaran. 

 

Penutup: Solusi Tak Boleh Melahirkan Masalah Baru

Kita tidak bisa membiarkan kebijakan publik berjalan atas dasar niat baik semata. Di dunia birokrasi dan hukum,niat baik yang dieksekusi tanpa regulasi yang tepat bisa menimbulkan kerugian lebih besar. Termasuk hilangnya hak legal ribuan anak hanya karena statusnya tak tercatat di Dapodik.

 

Saya menyerukan kepada Pemerintah Provinsi Jawa Barat untuk segera merevisi SK ini dan menyelaraskan dengan ketentuan nasional. 
Kebijakan pendidikan harus adil, inklusif, dan legal secara administratif.

 

Tulisan ini merupakan bagian dari kepedulian terhadap keadilan akses pendidikan dan tata kelola pemerintahan daerah yang berbasis hukum.


Penulis adalah Ketua PW Pergunu Jawa Barat dan pemerhati kebijakan publik pendidikan.


Terkait