Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Ngalogat

Kita Diajarkan Untuk Menjadi Pemaaf

Ilustrasi: NUO.

Mengapa selepas berpuasa Ramadan, para ulama dan orang tua kita mengajarkan untuk saling bermaaf-maafan? Mohon maaf lahir dan batin.


Padahal teks keagamaan tidak menyebutkan hal ini. Ini satu dari sekian tradisi Ramadan yang berbeda antara Indonesia dengan Arab Saudi. Tradisi mudik, halalbihalal, hiasan/makanan ketupat, opor ayam dan sungkeman mewarnai kekhasan praktek kebersamaan masyarakat di tanah air. 


Dalam bahasa Ushul al-Fiqh ini disebut dengan: al-‘Adah Muhakkamah (adat kebiasaan dijadikan panduan menetapkan hukum). Dan juga kaidah lainnya yang beradal dari riwayat Ibn Mas’ud: “Ma raahu al-muslimuna hasanan fa huwa ‘indallah hasan” (apa yang dianggap baik oleh umat Islam maka di sisi Allah pun dianggap baik).


Saling memaafkan itu menunjukkan hablum minan nas (relasi dengan sesama) yang kokoh, setelah ibadah puasa yang merupakan bagian dari hablum minallah (relasi kepada Allah) yang solid. Keduanya digabungkan secara utuh.


Baca Juga:
Memaafkan Ketika Berkuasa


Ada yang begitu berat mengakui kesalahannya, ada pula yang enggan memaafkan. Ada yang gengsi karena kedudukan dan status sosialnya untuk minta maaf terlebih dulu. Ada yang tak tahu lagi pada siapa harus meminta maaf karena setiap saat membuat jengkel banyak pihak. Momen idul fitri menjadi pelebur itu semua.


Kapan lagi kita melihat boss di kantor yang biasanya galak dan menjengkelkan, gak pernah ngaku salah, tapi pada momen Idul Fitri memohon maaf kepada anak buahnya. Basa-basi? Formalitas? Mungkin saja. Tapi paling tidak suasana menjadi cair. 


Dengan tradisi saling memaafkan, ulama dan orang tua mengajarkan kita bahwa kita bukan makhluk suci tanpa dosa. Kita tidak perlu merasa paling benar dan paling suci. Kita diajarkan rendah hati mengakui kekhilafan kita, baik dengan keluarga, jamaah, masyarakat atau bahkan negara.


Mau kita punya salah atau tidak, semua pihak dihubungi, yang akrab maupun yang jauh, atau bahkan tak dikenal. Idul fitri menjadi momen kebersamaan untuk saling memaafkan. Platform medsos pun menjadi sarana saling meminta maaf. 


Indah nian bukan cara ulama dan orang tua kita mengajarkan tradisi ini? Gak usah dicari mana dalil teks ayat dan haditsnya, cukup diresapi tradisi yang baik ini. 


Bahkan bukan cuma saling memohon maaf tapi juga diselipkan doa yang sangat populer di nusantara: minal aidin wal faizin. Ini bukan terjemahan bahasa Arabnya maaf lahir dan batin, tapi potongan doa: ja’alanallahu minal aidin wal faizin atau Allahumaj’alna monal aidin wal faizin. Semoga Allah menjadikan kita termasuk golongan orang-orang yang kembali fitrah dan meraih kemenangan. 


Doa tersebut diperpendek karena berat di lidah kita. Jadi cukup ujungnya saja, dan cara ini sukses mempopulerkan doa itu sehingga mudah diucapkan siapa saja. 


Saling meminta maaf dan saling mendoakan, serta saling kunjung-mengunjungi. Luar biasa bukan tradisi lebaran di Nusantara? Bahkan tradisi ini masih terus dijalankan orang Indonesia yang tinggal di mancanegara. 


‘Ied mubarak. Selamat idul fitri. Kullu ‘am wa antum bi khair. Taqabalallah minna wa minkum. Minal aidin wal faizin. Mohon maaf lahir dan batin.


KH Nadirsyah Hosen, Rais Syuriah PCINU Australia-New Zealand dan Dosen Senior Monash Law School

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait