Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya

Hikmah

Ithaf Al-Dzaki (2): Rekonsiliasi yang Berhasil

(Sumber Foto: FB Husein Muhammad).

Apa yang paling menarik dari konten buku ini? Syeikh al-Kurani melalui karyanya ini telah berhasil membagikan pikiran-pikirannya yang cemerlang dalam rangka mendamaikan dua kutub ekstrim pemikiran dan diskursus keagamaan: tubuh versus ruh, eksoterisme vs esoterisme, formalisme vs substansialisme, partikularisme vs universalisme, dan terma sejenis lainnya, atau dalam bahasa pesantren: antara Syari’ah versus Haqiqat  (Fiqh vs Tasawuf), Muhkamat vs Mutasyabihat, Ahl al-Hadits vs Ahl al-Ra’y dan sebagainya.


Perseteruan dua kutub ekstrim ini telah berlangsung dalam sejarah kaum muslimin di berbagai belahan dunia dalam kurun waktu yang sangat panjang dan dalam situasi sengit sekaligus telah menimbulkan malapetaka kemanusiaan yang sangat dahsyat dan tragis. Paling tidak lima tokoh legendaris yang sangat populer: Husein Manshur Al-Hallaj (857-922), ‘Ain Qudhat al-Hamadani (1099-1131), Suhrawardi al-Maqtul (1155-1191), Hamzah al-Fanshuri, dan Syeikh Siti Jenar, menjadi korban.


Mereka mengalami bukan hanya stigmatisasi sesat, melainkan pemasungan intelektual, pembunuhan karakter, penyiksaan, pemenjaraan dan eksekusi mati di tiang gantungan.


Melalui karya Magnum Opus, meminjam kata Azyumardi Azra, ini, Syeikh al-Kurani berusaha secara intelektual melakukan rekonsiliasi wacana keagamaan dengan menghimpun berbagai pikiran dari para sarjana (ulama) dalam sejumlah bidang yang terkait, baik yang setuju atas gagasan “Wahdah al-Wujud” (Kesatuan Eksistensi) maupun yang menyerangnya. Upaya-upayanya dilakukan dengan cara-cara yang damai, dengan kejernihan pikiran dan tanpa emosi yang berlebihan serta mendiskusikannya secara sehat. Syeikh al-Kurani sendiri mendukung ide tidak adanya pertentangan antara Syari’at-Hakikat, antara Muhkamat-Mutasyabihat dan tektualitas-rasionalitas dan sebagainya, seperti yang sudah disebut. Dan dengan begitu pada gilirannya juga akan sampai pada doktrin “Wahdah al-Wujud”, yang menjadi inti kajian buku ini.


Gagasan rekonsiliasi atau harmonisasi antar dua kutub yang berdegup di atas dilakukan Syeikh al-Kurani dengan cara yang sangat menarik. 


Al-Kurani memulainya dengan lebih dahulu menyatakan bahwa Al-Qur’an dan al-Sunnah adalah dua sumber Islam paling otoritatif. Seluruh muslim di dunia dengan keberagaman alirannya mengimani dan mempercayai sepenuhnya atas kebenaran keduanya sekaligus menjadikannya sebagai pedoman hidup dan berkehidupan. Seluruh kaum muslimin sepakat atas hal ini. Tak satupun menolak atau mengingkarinya.


Syeikh al-Kurani kemudian mengajukan premis berikutnya, bahwa Al-Qur’an sebagai kitab suci adalah utuh dan di dalamnya sama sekali tidak ada kontradiksi antara satu teks (ayat) dengan teks (ayat) yang lain(‘Adam al-Ta’arud). Pertentangan antar pernyataan Tuhan adalah sesuatu yang tidak mungkin. Adalah mustahil, tidak masuk akal, jika Tuhan menyatakan dua hal yang bertentangan untuk satu hal, isu atau kasus. Tuhan Maha Benar. La Yatihi al- Bathil baina Yadaihi. Tanzilun min Hakimin Hamid.


Maka dari situ Syeikh al-Kurani kemudian mengemukakan tesisnya : “Al-Jam’u Muqaddam ‘ala al-Tarjih” (Memadukan adalah lebih utama daripada memilih salah satunya).  


KH Husein Muhammadsalah seorang Mustasyar PBNU

Editor: M. Rizqy Fauzi

Artikel Terkait