• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Minggu, 28 April 2024

Ngalogat

Ramadhan dan Kedewasaan Sikap Beragama Umat

Ramadhan dan Kedewasaan Sikap Beragama Umat
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)
Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Ramadhan 1445 H akhirnya tiba. Kaum Muslim di seluruh dunia termasuk di Indonesia yang mayoritas penduduknya beragama Islam menyambutnya dengan suka cita. Inilah bulan paling agung di antara 11 bulan yang ada dalam kalender Islam yang selalu ditunggu-tunggu kehadirannya setiap tahun. 


Segala kebaikan akan dilipatgandakan pahalanya sebagaimana yang dijanjikan oleh Sang Maha Penepat Janji. Beragam program khusus untuk memperkuat keshalehan dan menebar kebaikan diselenggarakan selama bulan suci ini. 


Seperti yang sudah terjadi pada tahun-tahun sebelumnya, terdapat perbedaan tentang kapan dimulainya ibadah puasa. Begitu juga akan terlihat kapan diakhirinya ibadah tersebut bersamaan dengan pelaksanaan sholat ‘Ied pada tanggal 1 Syawwal. 


Namun seiring dengan meningkatnya pengetahuan, pemahaman dan pengalaman umat terkait dengan perbedaan tersebut, umat Islam Indonesia terlihat semakin dewasa.


Kedewasaan Sikap Beragama


Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata dewasa memiliki paling tidak dua arti utama. Arti pertama merujuk pada tiga hal antara lain akil baligh yang membedakan dengan anak-anak, telah mencapai kematangan kelamin yang menunjukkan kesiapan untuk melakukan aktivitas terkait reproduksi dan matang dalam pikiran, pandangan dan sebagainya. 


Arti kata dewasa juga merujuk pada waktu atau masa akhir-akhir ini. Melihat berbagai arti kata tersebut tentu saja dewasa dalam konteks artikel ini merujuk pada makna pertama pada bagian ketiga yaitu matang pikiran, pandangan dan sebagainya termasuk tentu saja tindakan.


Kesimpulan bahwa sikap beragama umat Islam yang semakin dewasa ini bisa lebih kongkrit lagi pada semakin mencairnya sikap umat Islam dalam menyikapi perbedaan pelaksanaan sholat sunnah tarawih selama bulan Ramadhan. 


Bukan hal yang aneh lagi jika di masjid-mesjid pelaksanaan sholat tarawih dilaksanakan secara bersamaan baik yang versi 8 mapun 20 reka’at. Mereka yang 8 akan mengakhiri keikutsertaan sholat tarawih manakala sudah sampai 8 rakaat dan mereka yang 20 akan melanjutkannya tanpa ada hambatan yang berarti, apalagi saling cemooh dan menyalahkan. 


Sungguh pemandangan yang luar biasa. Umat Islam begitu elegan dalam menjalankan ibadahnya. Kaum Muslim semakin menyadari bahwa ibadah bukan merupakan sarana atau ajang unjuk rasa, unjuk massa dan unjuk keshelahan di hadapan manusia. 


Ibadah benar-benar merupakan bagian tak terpisahkan dari upaya untuk membangun hubungan yang baik antara manusia dan mencari ridho Sang Ilahi Yang Maha Suci.  


Tentu saja hal itu sangat jauh berbeda jika kita bayangkan beberapa waktu yang lalu, apalagi jika dihubungkan dengan waktu yang lebih lama lagi di masa lalu. Tidak sedikit musholla bahkan masjid dibangun karena perbedaan tata cara ibadah sholat tarawih. 


Sebuah kisah di sebuah kampung di Menes Pandeglang di Banten pada pertengahan tahun 1980-an. Pada waktu itu, muncul sekelompok orang yang sebenarnya penduduk asli kampung tersebut dengan pemikiran keagamaan yang baru tentang jumlah rekaat sholat tarawih. 


Kelompok ini dipimpin oleh seorang kiai muda yang menyodorkan berbagai pemikiran dan pemahaman yang “baru” bagi masyarakat setempat termasuk dalam hal jumlah sholat tarawih. Terjadilah perdebatan antara kelompok yang pro kiai muda dengan mereka yang masih mempertahankan tradisi keagamaan lokal. 


Sulitnya mempertemukan perbedaan ini berujung pada pembangunan musholla baru yang dikhususkan bagi mereka yang pro kiai muda tersebut. Maka untuk pertama kalinya dalam sejarah keagamaan di kampung tersebut, ada dua musholla yang menyelenggarakan ibadah sholat tarawih secara terpisah. 


Pada saat itu pembangunan musholla baru bisa dikatakan sebagai win-win solution bagi kedua kelompok yang berbeda ini. Namun jika kita merefleksikan dari fenomena kedewasaan sikap beragama umat Islam saat itu, solusi tersebut lebih menghadirkan unjuk rasa sekaligus unjuk massa daripada esensi pelaksanaan dan tujuan ibadah tersebut. 


Tentu saja sebagai peristiwa historis, kita tidak bisa menjudge apa yang terjadi pada masa lalu dengan apa yang terjadi pada masa kini. Namun sebagai sebuah pelajaran tentu saja sangat penting agar hal-hal semacam itu tidak terjadi lagi di tengah tingginya harapan dan optimisme akan masa depan kehidupan keagamaan di negeri ini. 


Harapan akan Masa Depan


Sikap dewasa kaum Muslim dalam menyikapi perbedaan yang terjadi pada bulan Ramadhan ini memunculkan harapan akan masa depan kehidupan beragama di republik yang sangat heterogen ini. 


Kedewasaan sikap umat Islam ini bisa menjadi modal yang sangat berharga dalam upaya membangun soliditas sekaligus solidaritas khususnya di antara umat Islam secara internal dan umumnya berdampak pada perbaikan kehidupan keagamaan di Indonesia. 


“Selesainya” persoalan terkait dengan perbedaan tata cara beribadah menandakan umat Islam sudah begitu rasional karena persoalan ibadah ini terkadang banyak menguras sisi emosional keagamaan umat Islam dibandingkan dengan aspek kehidupan keagamaan lainnya. 


Hal itu tidak lepas dari fakta bahwa ibadah merupakan bagian paling esensial dalam beragama karena mengandung unsur-unsur yang sakral dan berhubungan langsung dengan Sang Maha Pencipta. 


Apa yang terjadi di Indonesia bisa menjadi rujukan sekaligus role model bagi kehidupan keagamaan di dunia dimana di beberapa bagian tertentu perbedaan pemahaman agama justru menjadi trigger bagi lahirnya berbagai konflik sektarian. 


Namun demikian, harapan yang tinggi ini masih tetap diliputi oleh berbagai pertanyaan yang menjadi kekhawatiran kita semua, manakala di beberapa segmen yang justru jika melihat dari sisi strata sosialnya merupakan bagian dari elit yang masih “bermain-main” dalam perbedaan tersebut. 


Menariknya, perbedaan itu tidak melulu erat kaitannya dengan persoalan ibadah dalam arti ritual akan tetapi dihubungkan dengan hal-hal terkait di luar “murni” keagamaan. Pilihan dan aspirasi politik masih banyak menggunakan jargon-jargon agama guna memperkuat posisi sekaligus meyakinkan voters terkait dengan pilihan dan aspirasi politik. 


Tentu saja sebagai bangsa yang telah dikenal sangat agamis, segala aspek kehidupan tidak bisa lepas dari aspek keagamaan, akan tetapi menjadikan agama sebagai komoditi politik tidak saja merusak sakralitas agama, akan tetapi lebih jauh dari itu tidak paham akan realitas keagamaan masyarakat yang semakin hari semakin dewasa. 


Artinya, mereka yang bertanding dalam gelanggang politik sudah seharusnya memfokuskan pada upaya penyelesaian masalah-masalah sosial dan ekonomi yang jauh lebih mendera masyarakat dibanding berkutat mencari legitimasi-legitimasi keagamaan. Wallahu’alam bis Showab


Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally Kuningan, Wakil Ketua Syuriah PCNU Kuningan, dan Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon


Ngalogat Terbaru