Ziarah yang Terganggu: Refleksi Sosial atas Fenomena Peminta-Minta di Obyek Wisata Sunan Gunung Jati
Kamis, 3 Juli 2025 | 10:12 WIB
Oleh Dr. Akhmad Aflaha
Obyek wisata religi Makam Sunan Gunung Jati di Cirebon telah lama menjadi destinasi ziarah yang penuh makna bagi masyarakat Muslim. Keberadaannya bukan sekadar tempat berziarah, tetapi juga simbol kekuatan spiritual yang menghubungkan umat dengan sejarah agama Islam di tanah Jawa.
Namun, di balik kesakralan tempat tersebut, muncul fenomena sosial yang cukup memprihatinkan: praktik peminta-minta yang kerap mengganggu kenyamanan para peziarah. Tidak hanya soal ketidaknyamanan yang ditimbulkan, tetapi juga terkait dengan peran pemerintah desa dan pengelola yang terkesan absen dalam menangani masalah ini.
Realitas Peminta-Minta yang Memaksa
Fenomena peminta-minta di kawasan Makam Sunan Gunung Jati bukan hal baru. Praktik ini sudah berlangsung cukup lama dan menjadi bagian dari dinamika sosial yang kompleks. Namun, belakangan ini masalah ini semakin mencuat setelah adanya video viral yang menunjukkan sejumlah petugas kotak amal yang memaksa peziarah untuk mengisi kotak shodaqoh dengan cara yang sangat tidak pantas—mulai dari mencubit hingga menarik baju. Tindakan ini jelas bertentangan dengan nilai-nilai kesantunan yang diharapkan ada di tempat ziarah.
Ironisnya, para petugas yang bertugas untuk menjaga kotak amal ini adalah hansip desa yang sudah mendapat penugasan resmi dari aparat desa setempat. Namun, yang lebih mencengangkan adalah kenyataan bahwa mereka tidak mengenakan seragam hansip atas perintah kuwu (kepala desa). Hal ini semakin menunjukkan adanya ketidakseriusan dalam penanganan masalah ini oleh pemerintah desa.
Pemerintah Desa yang Absen dalam Penertiban
Salah satu masalah utama yang terlihat jelas dari fenomena ini adalah ketidaktegasan pemerintah desa dalam menangani permasalahan sosial ini. Meski sudah ada laporan dan pengaduan terkait praktik pemaksaan yang meresahkan peziarah, namun pemerintah desa terkesan lebih memilih untuk tidak bertindak. Bahkan, warga sekitar turut mengungkapkan kekecewaan mereka dengan mengatakan, “Pemda e kakeyen rapat, laka eksene,” yang artinya, terlalu banyak rapat tanpa ada hasil nyata.
Pemerintah desa, sebagai lembaga yang paling dekat dengan masyarakat, seharusnya memiliki kewajiban untuk menjaga ketertiban dan kenyamanan publik, terlebih di kawasan wisata religi yang juga menjadi sumber pendapatan daerah. Namun, kenyataannya, justru ada kesan bahwa mereka membiarkan praktik peminta-minta ini berlangsung tanpa ada upaya yang signifikan untuk mengatasinya.
Pemahaman yang Salah atas Wasiat Sunan Gunung Jati
Sebagian besar peminta-minta di kawasan makam tersebut menganggap bahwa tindakan mereka adalah bagian dari praktik yang dibenarkan oleh wasiat Sunan Gunung Jati yang berbunyi, “Ingsun titip tajug lan fakir miskin”. Wasiat ini sering disalahartikan dan dianggap sebagai pembenaran atas praktek meminta-minta. Padahal, esensi dari wasiat tersebut adalah untuk memperhatikan dan membela nasib kaum fakir miskin, bukan untuk memelihara kemiskinan dalam bentuk yang eksploitasi seperti ini.
Sunan Gunung Jati, sebagai salah satu tokoh ulama besar, mengajarkan agar umat Islam menjaga masjid (tajug) dan memperhatikan nasib orang miskin dengan cara yang lebih manusiawi. Membangun pemberdayaan bagi mereka yang kurang mampu jauh lebih sesuai dengan nilai-nilai Islam dibandingkan membiarkan mereka terus mengandalkan belas kasihan dengan cara yang memaksa.
Tanggung Jawab Bersama dalam Menciptakan Obyek Wisata yang Ramah
Masalah ini jelas bukan hanya tanggung jawab pemerintah desa semata. Pemerintah daerah, dalam hal ini Pemerintah Kabupaten Cirebon, juga memiliki peran penting dalam mengawasi dan memberikan solusi terkait dengan keberlanjutan obyek wisata yang ramah dan nyaman bagi pengunjung. Penertiban tidak hanya perlu dilakukan secara tegas, tetapi juga harus berbasis pada pendekatan yang manusiawi dan konstruktif.
Salah satu langkah yang bisa diambil adalah dengan melibatkan lembaga-lembaga sosial, pesantren, dan komunitas lokal dalam menciptakan program-program pemberdayaan bagi masyarakat sekitar makam. Pendidikan keterampilan dan penciptaan lapangan kerja alternatif akan lebih efektif daripada hanya mengandalkan praktik pemaksaan yang mengorbankan kenyamanan peziarah.
Tidak kalah penting, pendekatan berbasis budaya dan etika juga harus diterapkan oleh pemerintah desa. Setiap warga dan pengunjung harus merasa bahwa mereka diperlakukan dengan hormat, bukan sekadar sebagai sumber pemasukan.
Solusi untuk Masa Depan: Dari Ketegasan hingga Pemberdayaan
Agar kawasan wisata religi ini dapat berkembang menjadi tempat yang lebih baik, pemerintah desa, pemerintah daerah, dan masyarakat setempat harus bekerja bersama-sama. Penertiban yang lebih sistematis dan terorganisir sangat diperlukan. Tidak hanya dengan menerapkan aturan yang jelas, tetapi juga dengan mengembangkan program-program sosial yang memberdayakan. Pihak pengelola wisata juga harus dilibatkan untuk memastikan bahwa setiap pengunjung merasa nyaman, tanpa adanya gangguan dari peminta-minta atau praktik eksploitasi lainnya.
Selain itu, pendidikan bagi masyarakat sekitar untuk mengedepankan nilai-nilai kewirausahaan dan keagamaan yang menghargai martabat manusia harus menjadi prioritas. Dengan cara ini, masyarakat tidak lagi mengandalkan belas kasihan orang lain sebagai sumber pendapatan, tetapi bisa mandiri dan memiliki rasa hormat terhadap diri mereka sendiri.
Kesimpulan
Makam Sunan Gunung Jati adalah warisan spiritual yang sangat berharga. Namun, agar obyek wisata ini tetap menjadi tempat yang penuh kedamaian, diperlukan upaya serius dari semua pihak untuk menanggulangi masalah peminta-minta yang semakin mengganggu. Ketegasan pemerintah desa dan daerah, ditambah dengan pendekatan pemberdayaan yang lebih konstruktif, akan memberikan solusi yang lebih berkelanjutan. Hanya dengan begitu, kawasan ziarah ini akan kembali menjadi tempat yang layak untuk dihormati dan dihargai oleh semua pihak.
Penulis adalah Dosen Pasca Sarjana Prodi PAI Institut Pesantren Babakan Cirebon