• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Kota Bandung

Jadi Khotib di Masjid Raya Bandung, Kiai Juhadi Jelaskan Implementasi Kurban dalam Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara

Jadi Khotib di Masjid Raya Bandung, Kiai Juhadi Jelaskan Implementasi Kurban dalam Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara
Jadi Khotib di Masjid Raya Bandung, Kiai Juhadi Jelaskan Kurban dalam Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara
Jadi Khotib di Masjid Raya Bandung, Kiai Juhadi Jelaskan Kurban dalam Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara

Bandung, NU Online Jabar
Ketua Tanfidziyah Pengurus Wilayah Nahdlatul Ulama (PWNU) Jawa Barat KH Juhadi Muhammad pada hari raya idul adha 1443 H/2022 M berkesempatan untuk mengisi khutbah idul adha di Masjid Raya Bandung Jawa Barat, Ahad (10/7).


Dalam kesempatannya itu, Kiai Juhadi sapaan akrabnya menyampaikan khutbah dengan tema “Semangat Kurban dan Tantangan Kehidupan Beragama, Berbangsa dan Bernegara.”


Kiai juhadi menjelaskan perayaan idul adha di masa kenormalan baru pasca pandemi ini memberikan pelajaran kepada kita, terutama tentang ketakwaan, kesabaran, ketawakkalan dan ketundukan total Nabi Ibrahim dan Ismail dalam menghadapi ujian Allah Swt berupa perintah untuk menyembelih Ismail.


Namun kemudian Allah mengganti Isma’il dengan seekor domba. Sebagaimana Firman-Nya: 


 إِنَّ هَذَا لَهُوَ الْبَلَاءُ الْمُبِينُ، وَفَدَيْنَاهُ بِذِبْحٍ عَظِيمٍ  


Artinya: “Sesungguhnya ini benar-benar suatu ujian yang nyata. Dan Kami tebus Isma’il dengan seekor sembelihan yang agung” (QS ash-Shaffat: 106-107)


“Kita semua tentu mengetahui bahwa pada saat proses penyembelihan Ismail tersebut, Nabi Ibrahim digoda oleh Syetan agar mengurungkan niatnya, tetapi dengan keimanan yang sangat kuat, ketaatan yang tiada tiada banding dan kesiapan berkurban yang tiada tanding, ahirnya Nabi Ibrahim mampu mengalahkan godaan syetan,” kata Kiai Juhadi.


Dari kisah godaan syetan terhadap Nabi Ibrahim tersebut lanjutnya, jika kita sandingkan dengan kisah Rasulullah SAW saat pertama menerima wahyu di Gua Hiro, sebelum beliau membaca Surat Al-Alaq, Malaikat Jibril mengajarkan untuk membaca ta’awudz atau isti’adzah.


Dinukil oleh Imam At-Thabari dalam Kitab Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayatil Qaur’an sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas, bahwa ilmu pertama yang diajarkan oleh malaikat Jibril kepada Nabi Muhammad adalah istiadzah

 

( أَعُوذُ بِاَللَّهِ مِنَ الشَّيْطَانِ الرَّجِيمِ.)


عن عبد الله بن عباس، قال: أول ما نزل جبريلُ على محمد قال: "يا محمد استعذ، قل: أستعيذ بالسميع العليم من الشيطان الرجيم
ثم قال: قل: "بسم الله الرحمن الرحيم
ثم قال: { اقْرَأْ بِاسْمِ رَبِّكَ الَّذِي خَلَقَ } [العلق: 1]. قال عبد الله: وهي أول سورة أنزلها الله على محمد بلسان جبريل (1) . فأمره أن يتعوذ بالله دون خلقه


Artinya: dari Ibnu Abbas, ia berkata, pertama kali Jibril turun kepada Nabi Muhammad, ia berkata, ‘Wahai Muhammad, ta’awudzlah. Katakan, ‘Asta’idzu bis sami’il ‘alim minas syaythanir rajim,’ lalu ia berkata, ‘Bacalah ‘bismillahir rahmanir rahim,’ lalu ia membaca ‘Iqra bismi rabbikalladzi khalaq,’ Abdullah bin Abbas mengatakan, Ini surat pertama yang Allah turunkan kepada Nabi Muhammad melalui lisan Jibril.’’ Lalu ia memerintahkannya untuk berlindung kepada Allah, bukan makhluk-Nya,” (Imam At-Thabari, Jami’ul Bayan ‘an Ta’wili Ayatil Qaur’an)


“Berdasarkan hadits tersebut, maka dapat kita fahami bahwa hal pertama yang diajarkan oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW adalah isti’adzah atau ta’awudz atau memohon perlindungan kepada Allah atas segala godaan syetan yang terkutuk,” ujarnya.


Hal itu menunjukkan akan pentingnya kesadaran tentang adanya godaan syetan dalam kehidupan di dunia ini dan pentingnya memohon perlindungan kepada Allah atas segala godaan syetan tersebut. 


“Lalu apa hubungannya dengan perayaan Iedul Adha? Seperti kita ketahui bersama bahwa Iedul Adha dikenal dengan Iedul Qurban yang mengandung makna pentingnya menumbuhkan semangat berkorban bagi umat Islam dalam berbagai bidang kehidupan,” katanya.


“Semangat berkorban akan menghadapi tantangan yang besar serta akan senantiasa digoda dan dilemahkan oleh syetan, maka di hari yang istimewa ini, kita semua harus menyadari pentingnya memohon perlindungan kepada Allah agar jiwa berkorban dan semangat pengorbanan yang ada dalam diri kita tidak pernah luntur,” imbuhnya.


Menurutnya Kiai Juhadi, emangat berkorban dan kesiapan diri untuk mengorbankan waktu, tenaga, pikiran, harta dan benda dalam kebaikan dan kebenaran adalah perintah agama yang bernilai pahala dan bernilai ibadah yang sangat tinggi di hadapan Allah SWT. 


“Dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara kita dituntut untuk senantiasa berkorban, setidaknya kita diperintahkan untuk tidak mendahulukan kepentingan pribadi dan golongan serta harus mengutamakan kepentingan umum, kepentingan agama, kepentingan masyarakat, kepentingan bangsa dan kepentingan negara,” tuturnya.


Mengapa hal ini penting? Ungkapnya, karena memang semangat berkorban di tengah-tengah masyarakat ahir-ahir ini mulai terkikis.


“jangankan berkorban untuk turut membantu pemerintah dan negara dalam menghadapi situasi sulit saat ini, untuk mendukung saja pun sepertinya sangat sulit. Hal ini terlihat dengan kian maraknya tudingan miring terhadap pemerintah, bully-an terhadap pemimpin negara dan pemimpin daerah, serta nyinyiran terhadap berbagai kebijakan dan program yang dijalankannya,” terangnya.


“Inilah tantangan terberat yang harus kita hadapi dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semangat berkorban demi agama, berjuang atau berjihad tentu saja tidak perlu diragukan lagi dan ghirohnya semakin besar ahir-ahir ini, tetapi sering kali salah kaprah dengan pemaknaan jihad yang tidak pada tempatnya, pemaksaan ideologi yang tidak sesuai dengan kehidupan masyarakat Nusantara, penyebaran faham kelompok dan aliran tertentu yang ujung-ujungnya merusak tatanan kehidupan yang ada, serta kian rendahnya toleransi dalam beragama dan kian pudarnya moderasi dalam beragama,” tegasnya.


Allah Swt telah menegaskan dalam Al-Qur’an Surat Al-Hajj ayat 78: 


 وَجَاهِدُوا فِي اللَّهِ حَقَّ جِهَادِهِ  


Artinya, “Berjuanglah kalian di jalan Allah dengan perjuangan yang sebenar-benarnya,” 


“Jihad bermakna luas yakni bersungguh-sungguh dan bekerja keras melakukan kebaikan. Menurut ulama, jihad dapat dimanifestasikan dengan hati, menyebarkan syariat Islam, dialog dan diskusi dalam konteks mencari kebenaran, mempersembahkan karya bagi kemanfaatan Muslimin dan dengan melawan kekafiran. Artinya, jihad dapat dilakukan dengan berbagai cara, bukan hanya dengan mengangkat senjata,” ungkapnya.


Dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, kata Kiai Juhadi semangat berkorban juga tidak kalah berat tantangannya, setidaknya kita bisa berkorban untuk menahan diri dan tidak terpancing dengan berita-berita yang terkadang tidak jelas sumbernya, tidak gampang menyebarkan berita bohong atau hoax dan mengedepankan tabayyun atau cek ricek tentang informasi yang berseliweran di era medsos seperti saat sekarang ini.


“Tantangan ini akan semakin besar ketika kita akan memasuki tahun politik, munculnya politik identitas, penggunaan SARA untuk kepentingan politik kelompok tertentu dan ancaman perpecahan harus kita antisipasi bersama, agar keutuhan bangsa dan negara ini tetap terjaga,” paparnya.


Lanjtunya, Jika kita kembalikan kepada peristiwa diajarkannya isti’adzah atau ta’awudz oleh Malaikat Jibril kepada Rasulullah SAW, maka segala tantangan yang kita hadapi dalam menumbuhkan semangat berkorban dalam kehidupan beragama, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara ini tidak lepas dari pengaruh godaan syetan dan tidak terkendalinya hawa nafsu manusia itu sendiri. 


“Maka kita harus senantiasa memohon perlindungan kepada Allah atas godaan syetan yang terkutuk, memohon petunjuk dan bimbingan-Nya agar kita mampu mengendalikan hawa nafsu yang dapat menjerumuskan kita kepada kehancuran,” terangnya.


Pada perayaan Iedul Adha ini, kata Kiai Juhadi umat Islam juga diperintahkan untuk melakukan penyembelihan hewan qurban. Ingatlah bahwa semangat berqurban dengan menyembelih hewan qurban harus diiringi dengan pemahaman yang utuh tentang niat, cara, tujuan dan pelaksanaannya. 

 

“Jangan sampai berqurban hanya untuk menunjukkan kesombongan, memamerkan kekayaan dan tidak sampai pada esensinya yakni untuk meningkatkan ketakwaan kita kepada Allah Swt,” ucapnya.


 Al-Qur’an Surat  Al-Hajj Ayat 37 menegaskan:


لَنْ يَنَالَ اللَّهَ لُحُومُهَا وَلَا دِمَاؤُهَا وَلَٰكِنْ يَنَالُهُ التَّقْوَىٰ مِنْكُمْ ۚ كَذَٰلِكَ سَخَّرَهَا لَكُمْ لِتُكَبِّرُوا اللَّهَ عَلَىٰ مَا هَدَاكُمْ ۗ وَبَشِّرِ الْمُحْسِنِينَ

 

Artinya: “Daging-daging unta dan darahnya itu sekali-kali tidak dapat mencapai (keridhaan) Allah, tetapi ketakwaan dari kamulah yang dapat mencapainya. Demikianlah Allah telah menundukkannya untuk kamu supaya kamu mengagungkan Allah terhadap hidayah-Nya kepada kamu. Dan berilah kabar gembira kepada orang-orang yang berbuat baik”


“Salah satu hikmah disyariatkannya qurban adalah untuk mengendalikan nafsu kebinatangan yang ada pada diri kita, Imam Al Ghazali telah mengingatkan kepada kita semua bahwa penyembelihan hewan kurban menyimbolkan penyembelihan sifat kebinantangan manusia. Pada saat yang sama kita akan mampu mempertajam kepekaan dan tanggungjawab sosial, menggalang solidaritas dan mewujudkan kebersamaan,” ujarnya.


“Jika hikmah ibadah qurban mampu kita implementasikan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, maka akan tumbuh tanggung jawab sosial di kalangangan masyarakat, terwujud solidaritas dan kebersamaan, yang semua itu akan menjadi modal besar untuk  membebaskan negeri ini dari segala masalah yang mengungkung dan mewujudkan negeri yang adil, makmur dan sejahtera, sehingga terwujudnya Baldatun Toyyibatun Wa Robbun Ghofur bukan hanya impian semata,” pungkasnya.


Pewarta: Abdul Manap


Kota Bandung Terbaru