• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Kuluwung

Muhasabah Pasca Ramadhan

Muhasabah Pasca Ramadhan
Ilustrasi: NUO.
Ilustrasi: NUO.

Selepas Ramadhan, ada satu orientasi besar yang perlu kita renungkan dan harus tetap diingat berkaitan dengan tugas kita sebagai muslim sejati. Orientasi besar itu adalah ketakwaan. Sebagaimana kita ketahui, tujuan utama disyariatkannya berpuasa adalah untuk membentuk jiwa pribadi muslim yang bertakwa. 


Oleh karena itu, tugas kita selepas Ramadhan yaitu bagaimana agar berbagai aktivitas ibadah yang telah dilakukan pada saat Ramadhan dapat diaplikasikan dengan baik sehingga menjadi modal yang sangat penting untuk mengisi kehidupan sehari-hari di luar Ramadhan. 


Senyatanya, beragam aktivitas ibadah yang telah dilakukan pada bulan Ramadhan sejatinya harus bermuara pada satu identitas utama, yaitu identitas ketakwaan. Namun, ketakwaan tidak hanya sebatas identitas yang melekat pada diri sendiri sebagai cerminan dari kesalehan individual, tetapi harus juga menjadi sebuah identitas yang mencerminkan kesalehan sosial.  Dengan demikian, seseorang yang telah melewati bulan Ramadhan mempunyai tanggung jawab moral untuk menjaga identitas ketakwaannya sehingga kebermanfaatannya dapat dirasakan oleh masyarakat di sekelilingnya. 


Takwa


Kata takwa ringan dan mudah diucapkan namun tidak mudah untuk dilakukan. Hal ini karena berkaitan dengan kompleksitas beragam ibadah yang membangunnya. Dalam Al-Qur’an dan hadis, beragam ibadah yang ada memang bermuara pada satu identitas ketakwaan. Terlebih ketakwaan itu tidak hanya menyoal tampilan fisik dari sebuah ibadah saja, melainkan juga tampilan dalam (batin) yang mengiringi beragam aktivitas ibadah. Dan inilah kiranya takwa itu tidak mudah dilakukan, sehingga diperlukan niat dan keinginan yang kuat dari seorang muslim untuk mewujudkannya.


Oleh karena itulah, para ulama memberi definisi takwa secara sederhana namun mengikat keseluruhan asfek-asfek ibadah yang membangunnya. Takwa diartikan sebagai usaha yang sungguh-sungguh untuk melaksanakan segala dari apa yang diperintahkan Allah SWT dan berusaha dengan sungguh-sungguh pula dalam menjauhi segala yang dilarang oleh Allah SWT. Maka orang-orang yang bertakwa (muttaqin) adalah orang-orang yang menjalankan perintah-perintah Allah SWT, takut terhadap siksa-Nya, serta menjauhi maksiat kepada-Nya. 


Dari sekian banyak ragam aktivitas ibadah yang diperintahkan Allah SWT baik yang terdapat dalam ayat suci Al-Qur’an dan hadis Rasulullah SAW, paling tidak ada beberapa ibadah yang perlu direnungkan berkaitan dengan identitas ketakwaan seorang muslim. 


Dalam QS az-Zariat ayat 15 hingga 19 terdapat beberapa ciri orang-orang yang bertakwa. Identitas ketakwaan itu terdiri dari beberapa aktivitas ibadah yang secara waktu kiranya mudah dilakukan terlebih ketika ada dalam nuansa bulan Ramadhan. Aktivitas ibadah itu adalah:


Pertama, orang-orang yang menghabiskan malam dengan ibadah dan menyedikitkan tidur.


Kedua, orang-orang senantiasa beristigfar (meminta ampun dari setiap dosa kesalahan) kepada Allah SWT di waktu sahur.


Ketiga, orang-orang yang senantiasa menafkahkan harta bendanya di jalan Allah demi kepentingan sesama. 


Berkaitan dengan hal tersebut Allah SWT berfirman: “ Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa berada di dalam taman-taman (surga) dan mata air. Mereka mengambil apa yang diberikan Tuhan kepada mereka. Sesungguhnya, mereka sebelum itu (di dunia) adalah orang-orang yang berbuat baik. Mereka sedikit sekali tidur pada waktu malam. Dan pada akhir malam mereka memohonkan ampunan (kepada Allah). Dan pada harta benda mereka ada hak bagi orang miskin yang meminta dan bagi orang miskin yang tidak meminta.” (QS az-Zariat [51]: 15-19). 


Dari beberapa kriteria orang bertakwa yang telah disebut dalam QS az-Zariat ayat 15 hingga 19 mengisyaratkan bahwa identitas muslim yang bertakwa tidak hanya menyoal hubungannya dengan Allah SWT saja, melainkan juga menyoal hubungan dengan sesamanya. Dengan demikian, takwa tidak hanya berwujud sebagai kesalehan individual, tetapi juga berwujud sebagai kesalehan sosial.


Muslim yang mengisi malam-malamnya dengan aktivitas ibadah semisal dengan shalat-shalat sunah, berdzikir, berdoa, dlsb serta menutup malam dengan ucapan istigfar sebagai permintaan taubat kepada Allah SWT merupakan perwujudan dari ketakwaan seseorang yang bersifat individual (pribadi) antara seorang hamba dengan Tuhannya. Sementara seorang muslim yang mudah berbagi rezeki dan harta benda kepada sesama merupakan sebagai perwujudan ketakwaan dari seorang muslim terhadap sesamanya. 


Lantas bagaimana sikap kita sebagai orang yang telah melampaui Ramadhan sejatinya nilai-nilai ketakwaan yang di bulan Ramadhan terasa menggelora untuk dilakukan tetap dilakukan pasca Ramadhan usai? 


Sejatinya sebagai muslim yang merindukan predikat takwa, ruh dan semangat Ramadhan harus tetap terjaga pada bulan-bulan setelahnya. Bulan Ramadhan harus dijadikan wahana sebagai penyemangat untuk melakukan beragam aktivitas ibadah sebagai cerminan dari orang-orang yang bertakwa meskipun nilai ibadah di luar Ramadhan tidak sebesar di bulan Ramadhan. Jika demikian terjadi, boleh jadi ibadah puasa yang telah kita lakukan memang berada dalam penerimaan Allah SWT sebagai mana yang telah dirahasiahkannya. Jika tidak, mungkin sebaliknya. Dan inilah kiranya yang tidak diinginkan oleh siapa saja yang telah melampaui Ramadhan namun tanpa mendapatkan apa-apa.


“Barang siapa yang hari sekarang lebih baik dari pada hari kemarin, maka ia termasuk orang-orang yang beruntung. Barang siapa yang hari sekarang sama dengan hari kemarin, berarti ia adalah orang yang merugi. Dan barang siapa yang hari sekarang lebih buruk dari pada hari kemarin, maka ia termasuk orang yang terlaknat.”
Wallahu’alam


Rudi Sirojudin Abas, Penulis adalah seorang peneliti kelahiran Garut.


Kuluwung Terbaru