• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Kuluwung

Menabur Bunga di Nisan Terlupakan

Menabur Bunga di Nisan Terlupakan
Menabur Bunga di Nisan Terlupakan. (Ilustrasi/Nasihin)
Menabur Bunga di Nisan Terlupakan. (Ilustrasi/Nasihin)

Betapa tahun-tahun lalu itu membekas, selambat apapun waktu, tetap jaman berubah. Bukan jaman tapi yang menghuninya, mungkin?
Tapi, rindu tak pernah berubah sekalipun menjadi usang dan tua.

 

Petani yang perkasa itu sekarang telah renta. Jika pun tetap kuat, lahan dan ladangnya telah hilang. Mata buram itu hanya memandang ketidakpastian, kemudian bapak tua itu kembali ke ruang tengah rumahnya; yang dindingnya dari anyaman bambu dan tiang kayu.

 

Tidak! Tidak Pak tua, bukan kami ingin kembali ke masa lalu, namun ingatan masa kecil itu terus menghantui, teringat jalan tanah merah berbatu, kebun jagung dan sinkong, rumpun bambu, selokan kecil yang jernih dan banyak lagi di ingatan ini.

 

Jika saja mereka bisa membaca surat ini; saya akan tempel di sisa-sisa pohon, tanah dan beribu kenangan tanah kelahiran. Namun, hanya tinggal gundukan tanah bernisan tua, sesepuh kampung hanya tercatat di papan nisan dan ingatan lapuk para orangtua.

 

Pak tua, kami rindu, tapi pada apa?, karena semua telah berubah. Mungkin, yang tersisa hanya gundukan tanah dan nisan tua itu.
Dan entah di mana kami pun akan menjadi gundukan tanah dan nisan. Namun entah di mana?, dan entah diingat atau dilupakan.

 

Kami pernah berburu jamur di musim hujan, berburu kerang di selokan, menaiki pohon sawo dan jambu kemudian tertidur di gubuk dari daun bakung. Pernah menyalakan obor dari bunga randu, sebelum tajug reot mengumandangkan adzan magrib.

 

Pak tua, sekarang hujan tak tentu musim, kemarau terkadang sangat kering dan dingin, selokan telah tak ada, sungai kotor, kebun menjadi toko-toko swalayan dan pohon sawo itu telah mati dan tajug telah berlantai marmer. Bahkan rumpun bambu yang angker di sudut kampung, terganti deretan rumah para pengusaha.

 

Kami ingin bercerita pada nisan pak tua, pada pohon pakis samping makam itu. Jika umur kami telah sampai ujung, doakan kami berdampingan di sini bersama para sesepuh, agar setiap hari bunga-bunga itu jatuh berserakan ditabur angin.

 

Kami yakin orang-orang baik seperti pak tua itu akan selalu ada, di setiap jaman walaupun semua telah berubah dan hilang. Kami yakin doa-doa itu menempel pada tanah yang masih coklat, pada daun yang berserakan.

 

"Selamat sore pak tua, kami yakin cerita ini di dengar, kami yakin pak tua sedang menatap kami dengan doa".

"Kami pamit pak tua, entah esok atau lusa, kami menemui nisan ini lagi, kemudian bercerita kembali tentang apapun di kampung ini, tentang keyakinan bahwa kebaikan itu masih ada".

 

Bunga-bunga pun kembali gugur, menabur wangi di gundukan itu, menabur pengampunan dan doa. Bunga itu terjatuh merebahkan kuncupnya di sore hari, di halaman peristirahatan para tetua kampung.

 

Nasihin, pengurus Lesbumi Kabupaten Bandung


Kuluwung Terbaru