• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Kuluwung

Dongeng Enteng dari Pesantren (9): Menangis di Hadapan Ajengan

Dongeng Enteng dari Pesantren (9): Menangis di Hadapan Ajengan
(Ilustrasi: NU Online
(Ilustrasi: NU Online

Oleh Rahmatullah Ading Afandie (RAF)

Harus dimaklumi waktu itu saya masih kanak-kanak. Belum bisa berpikir panjang. Jadi, jangan sampai mengukur cerita saya ini dalam sudut pikiran yang sudah dewasa. Jika saya sudah dewasa, tentu saja tidak akan terjadi hal itu. Apalagi saat itu saya baru beberapa bulan di pesantren. Waktu itu mengaji saya saja belum khatam lima juz. Bahkan kadang kalau susah membaca, saya sering disuruh mengeja. Menyebalkan sebetulnya.

"Alip nun tasyjid jeer in, nun alip lam-lam tasyjid jabar nal, lam jabar la, he jabar ha innallaha... dst... dst..."

Suatu waktu aku sedang menemani Kang Haer membuat kaligrafi di tajug. Sebentar lagi Lebaran. Cat dinding luar dan dalam tajug diperbarui sehingga kaligrafi yang sebelumnya terhapus. Harus diperbarui juga 

Waktu itu, aku sebetulnya hanya membantu Kang Haer memegang wadah kapur atau membantu mengangkat dan memindahkan tangga. Aku belum bisa apa-apa. Juga tak setiap santri terampil membuat kaligrafi. Hanya santri yang ahli yang bisa membuat kaligrafi bagus.

Di atas mimbar Kang Haer membuat lafadz Allah, di bawahnya Muhammad, di sebelahnya kiri kanan lafadz para sahabat, Abubakar, Umar, Utsman" dan Ali (radiallahu anhum). 

Lafadz-lafadz itu sudah selesai kemarin. Hari ini menyelesaikan lafadz di bilik di atas jendela. Lafadznya itu ternyata ayat Al-Qur’an, "Innad dina 'indallahil islam".

Pukul sebelas Kang Haer menyelesaikan pekerjaannya. Menurutku, sangat bagus. Sampai saat ini aku tak mampu menulis sebagus itu.

Setelah bagian itu selesai, Kang Haer beralih ke bagian dalam di atas pintu masuk.

"Coba baca lafadznya!" pinta Kang Haer kepadaku.

"Ajilu bisshalati qablal faut, wa ajilu bit taubati qablal maut."

"Apa artinya?" tanya Kang Haer sembaru mulai menulis. 

Aku berpikir keras, tapi tetap saja tak mengerti.

"Masak tidak tahu?" ucap Kang Haer lagi sambil tetap menulis. 

"Kata ajilu fi'il atawa isim?" 

"Fi'il," jawabku.

"Kenapa disebut fi'il?" tanya Kang Haer.

"Sebab tak ada alip-elam atawa tanwin," jawabku.

"Fi'il apa itu?" tanya Kang Haer. 

Aku terdiam.

"Fi'il mudhari bukan?" 

"Bukan." 

"Sebab tak ada alif, nun, ya atau ta."

"Coba lanjutkan sharaf-nya. Apa fi'il madi-nya lafadz itu."

"Ajala," kataku menebak.

"Benar", kata Kang Haer. "Tuh, sudah ketahuan, bukan fi'il mudori, bukan fi'il madi, jadi fi'il apa?"

"Fi'il... amar," kataku masih ragu-ragu.

"Betul fi'il amar. Coba terjemahkan!"

Setelah dituntun Kang Haer, aku meraba-raba. 

"Segeralah bertobat sebelum lupa dan segeralah shalat sebelum maut...".

Kang Haer memujiku. 

“Shalat rasanya tidak pernah lupa,” aku membatin. “Tapi bagaimana dengan taubat?” lanjutku dalam hati?” 

Banyak sekali dosa yang belum aku taubati. Padahal bisa jadi besok atau lusa aku meninggal.Siapa tahu. Bisa jadi nanti malam. Sangat berbahaya meninggal sebelum bertaubat.

Waktu aku berpikir seperti itu, aku kaget sebab ingat pernah mencuri ikan dari kolam milik ajengan. Memang waktu itu yang turut serta banyak santri, tapi aku menjadi pelopornya.

Dalam hati, aku akan bertaubat sebelum Lebaran. Kemudian meminta maaf kepada ajengan pada hari Lebaran. Namun, apa betul aku masih hidup sampai Lebaran? Siapa tahu aku meninggal sebelum lebaran? Siapa tahu? Allah berkuasa mencabut nyawa kapan saja, sementara berdasarkan lafadz kaligrafi tadi, segeralah bertaubat sebelum maut!

Tanpa berpikir panjang, aku berlari pontang-panting. Kang Haer berteriak memanggil tanpa tahu apa-apa. Aku tak menengoknya sama sekali. Tujuanku berlari ke rumah ajengan mau bertaubat habis-habisan, mau minta maaf habis-habisan sambil menangis habis-habisan. Sebab menurut Ajengan, bertaubat dengan mengeluarkan air mata itu sangat bagus.

Ajengan ada di beranda rumahnya. Waktu itu sedang tak berpeci. 

Aku datang menghadapnya dan langsung menangis sebelum bercerita.

Ajengan sepertinya kaget. 

"Kenapa?" tanyanya. 

“Takut meninggal sebelum Lebaran," kataku terputus-putus.

Setelah beberapa saat menangis, aku terdiam. Bukan karena apa-apa karena aku selintas melihat si dia yang berkerudung merah di dalam rumah. 

Kemudian aku menceritakan dosa mencuri ikan ajengan dan memohon dimaafkan.Ajengan memaafkan lahir-batin, dunia akhirat.

"Sayang sekali kamu bertaubat di siang hari sebab batal puasa kalau menangis."

Senang sekali mendengar ajengan yang memaafkan, tapi merasa kecewa sebab aku ternyata batal puasa.

Kemudian aku pamit, pergi ke kobong. Tanpa ragu-ragu aku langsung minum. Si Atok kaget bukan main. Aku kemudian menceritakan apa yang terjadi. Dan menurut ajengan puasaku batal.

Tanpa diduga, si Atok pun menangis.

“Aku banyak dosa. Maka aku menangis.”

Sejam setelah itu, saat santri-santri lain menahan lapar, aku dan si Atok sedang melahap nasi liwet hangat dengan sambal goang.

Ketika Si Umar datang, liwet tinggal keraknya. Sepertinya jika liwet masih ada, tentu dia juga akan menangis dengan alasan bertaubat.

Cerpen ini diterjemahkan dari bahasa Sunda ke dalam bahasa Indonesia oleh Abdullah Alawi dari kumpulan cerpen otobiografis Dongeng Enteng ti Pesantren. Kumpulan cerpen tersebut diterbitkan tahun 1961 dan memperoleh hadiah dari LBBS di tahun yang sama. Menurut Adun Subarsa, kumpulan cerpen tersebut digolongkan ke dalam kesusastraan Sunda modern sesudah perang. 

Nama pengarangnya Rahmatullah Ading Afandie sering disingkat RAF. Ia lahir di Ciamis 1929 M. Pada zaman Jepang pernah nyantri di pesantren Miftahul Huda Ciamis. Tahun 1976, ia muncul dengan sinetron Si Kabayan di TVRI, tapi dihentikan karena dianggap terlalu tajam mengkritik. Ketika TVRI cabang Bandung dibuka, RAF muncul lagi dengan sinetron Inohong di Bojongrangkong.


Kuluwung Terbaru