• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 16 April 2024

Kuluwung

‘Aja Luru Wah, Tapi Luru Woh’

‘Aja Luru Wah, Tapi Luru Woh’
Santri Pesantren Khas Kempek Cirebon (Foto: Khas Kempek Media)
Santri Pesantren Khas Kempek Cirebon (Foto: Khas Kempek Media)

Oleh Adiansyah Pratama

“Aja luru wah, tapi luru woh.” Kalimat itu merupakan dawuh KH Umar Sholeh Kempek kepada para santrinya.

Penulis sendiri mendengar nasihat ini dari teman sesama santri di Kempek. Ketika pertama kali mendengar, teras agak janggal. Apa arti “wah” dan “woh” sebenarnya,  sekalipun teman penulis sudah berusaha memberikan penjelasan.

Bahkan sampai penulis pindah ke asrama yang berbeda yayasan tapi masih satu desa, kebingungan masih menyelimuti. Padahal, cuma berbeda huruf tengah pada kedua kata tersebut tapi maknanya sangat berbeda. Ini mengingatkan pepeling dari KH Muh. Mushtofa Aqiel Siroj, 

“Cung, maca kitab iku angel, kudu teliti Contohe lafadz من bisa diwaca “min” maknae “saking”, bisa diwaca “man” maknae “sapa”, bisa maning diwaca “manna” maknae “ngupahi anugrah”. Makane mondok e kang temenan, mumpung masih nang pondok.” 

Nak, membaca kita itu sulit, harus teliti. Contohnya lafadz من bisa dibaca “min” artinya dari, dibaca “man” artinya siapa, dibaca “manna” artinya mendapatkan anugerah. Makanya mengaji sungguh-sungguh, mumpung masih di pondok.

Setelah tiga tahun di pesantren ini, penulis mulai sedikit paham akan dua kata tersebut. Maknanya kurang lebih seperti ini, “Mengajilah dengan tekun, bukan untuk mencari popularitas (wah), tapi untuk mendapatkan hasilnya (woh) yaitu mencari ridlo Alloh, menghilangkan kebodohan, dan lian-lain”.

Guru kami KH Khoiron Syatibi pernah mengatakan, “Mondok sing temenan lan sing prihatin. Aja ngarep dadi apa-apa, mengko ari ora dadi apa-apa, malah dadie getun”.

Mengajilah yang sungguh-sungguh dan berlakulah prihatin. Jangan berharap apa-apa, nanti tidak akan jadi apa-apa, malah jadinya sebuah penyesalan.

Ini mengingatkanku pada buku Samudra Kezuhudan Gus Dur yang ditulis KH Husein Muhammad. Ia menukil kata mutiara Ibnu Athaillah al-Sakandari yang menyandungkan puisi “Idfin” dalam Al-Hikam.

“Tanamlah eksistensimu pada tanah yang tak dikenal. Sebab, sesuatu yang tumbuh dari biji yang tak ditanam, tak berbuah matang”.

Buya Husein memberi komentar, “Simpanlah hasratmu akan popularitas, karena hasrat yang demikian tak akan membuat dirimu tumbuh dan berkembang sempurna.’ Menurut Buya Husein, hasrat akan kemasyhuran akan menyibukkan diri pada urusan-urusan yang tak berguna dan mengabaikan kerja-kerja yang bermanfaat bagi manusia. Cinta pada kemasyhuran mendorong orang untuk mengurusi dirinya sendiri dan tak peduli orang lain.
 
“Cukuplah dengan ridho Alloh bagi kita, sungguh mencari ridho manusia adalah tujuan yang tak pernah tergapai. Sedangkan ridlo Alloh, tujuan yang pasti sampai. Maka tinggalkan segala upaya mencari keridhaan manusia, dan fokus saja pada ridla Allah”. Demikian syair indah yang dilantunkan oleh Syeikh Ali Thantowi. 

Wallahu A’lam.

Penulis adalah santri Pondok Pesantren Khas Kempek Cirebon

Sumber: Khas Kempek 


Editor:

Kuluwung Terbaru