• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 21 Mei 2024

Risalah

Sarung

Sarung
(Foto: NU Online)
(Foto: NU Online)

Sarung dalam jagad sandang menempati posisi paling unik. Sarung sering dikaitkan dengan mode randahan, digunakan untuk menunjuk kaum udik, pendeknya tidak fashionable, tidak modern, bukan eksekutif. Tetapi pada saat besamaan, dan ini yang menjadikannya unik sekaligus diperhitungkan, sarung digunakan untuk menunjuk pada sebuah gerakan: kaum sarungan.

Sarung yang dipercaya dibawa oleh para saudagar dalam ekspedisinya ke nusantara segera mendapatkan panjat sosialnya. Sarung yang dari asalnya adalah perkara domestik--hanya sebatas pakaian untuk tidur, untuk selimut, untuk leyeh-leyeh sambil ngopi atau ngeteh di rumah—menjadi alat perlawanan ketika jas, celana, dasi dan sepatu menjadi standar baru kemodernan dan level sosial yang dibentuk Belanda.
Sarung menjadi pilihan paling masuk akal ketika jubah dipandang Belanda sebagai identitas Islam yang harus diawasi dan dicurigai sebagaimana mereka mensegregasi yang pulang dari Mekkah dalam rangka haji karena dicurigai tertular virus perlawanan.

Dan begitulah, sarung kemudian menjadi identitas warga rural, wong ndeso, yang dipakai di pesantren-pesantren dan di kampung-kampung. Ada yang selalu memakai sarung untuk bawahan, ada juga yang memakainya dengan dikalungkan di leher.

Karena mentradisi di pesantren-pesantren jadilah nahdliyin kemudian identik dengan kaum sarungan. Mbah Wahab Hasbullah terkenal kemana-mana memakai sarung bahkan ketika datang menghadiri undangan resmi kenegaraan dari Soekarno. Belakangan makin populer ketika Jokowi hadir di Muktamar NU Jombang dengan bersarung, dan Wapres KH Ma’ruf Amin yang hampir tidak pernah lepas dari sarung. Oh ya jangan lupa saat Hamish Daud membuat para lelaki patah hati saat menikahi Raisa dengan memakai sarung.
Ridwan Kamil, Gubernur Jawa Barat kemudian juga membuat gerakan bersarung pada tanggal 22 setiap bulan untuk para PNS yang ngantor. Kebijakan pencitraan  yang kemudian diikuti oleh Walikota Bogor, Bima Arya. Mungkin keduanya terinspirasi dari Lutung KaSarung.

Ada banyak tipe dan jenis sarung, dari yang berharga puluhan ribu sampai jutaan, dari motif-motif konvensional sampai kemudian marak sarung batik. Tentu saja paling mudah menentukan strata pemakainya dari jenis sarung yang dipakai karena terkait dengan harga.

Pada level paling bawah adalah pemakai sarung yang judulnya kadang asing di penglihatan seperti sarung Majalaya-an yang berharga puluhan ribu. Jenis sarung yang paling tidak ribet karena bisa dicuci dengan sesuka hati, tidak khawatir kena tumpahan kopi atau coklat, masa bodoh jika kena bara rokok, kalau malas mencuci buang beli lagi yang sejenis.

Level selanjutnya adalah pemakai sarung dengan judul-judul yang akrab di penglihatan seperti Atlas, Gajah Duduk, Wadimor dan judul lain yang memiliki kerapatan benang 7000 sampai 9000. Harganya seratusan ribu, meski tidak lebih dari 200 ribu. Sarung ini juga jamak dipakai karena mudah didapat di pasaran, tidak ribet untuk mencucinya.

Level paling atas tentu saja sarung berbahan dasar sutra seperti BHS dan Lamiri. Tingkat atasnya juga masih memiliki level lagi tergantung pada kadar sutra yang tertanam, pada tulisan BHS nya apakah vertikal atau horisontal. Harganya 300 ribu sampai jutaan sehingga tidak massal pemakainya karena kebanyakan masih mempertimbangkan harga. Sarung jenis ini biasanya dipakai oleh ustad, anak kiai, kiai atau mereka yang punya uang berlebih. Kalaupun tidak punya uang berlebih, tenang, setiap lebaran banyak lembaga dan instansi yang membagi BHS, ya meskipun hanya Setanggi, BHS Clasic, mentok Excellent.

Bagi yang tidak suka keribetan disarankan jangan masuk level atas terutama bagi yang mencuci baju saja asal-asalan, bagi yang jorok ketika minum kopi atau minuman lainnya yang suka tumpah, juga bagi perokok yang abai dengan bara yang berjatuhan. Dijamin dalam waktu singkat sarung anda akan lecek, banyak tempelan noda yang ga hilang oleh deterjen, juga lubang-lubang kecil tertembus sakar.

Namun dimanapun level sarungnya, ada beberapa pertukaran level dalam hal cara bersarungnya. Bisa jadi pemakai sarung kluyur sama cara memakainya dengan pemakai BHS Masterpiece yang jutaan harganya.
Pertama, mereka yang memakai sarung tanpa pelapis apapun di baliknya. Mungkin jenis ini adalah penganut liberalisme yang tidak mau terkekang oleh apapun, feel free. Kalau anda penganutnya pastikan kalian mempunyai skill bersarung dengan kuat tidak mudah logor bahkan ketika ditarik juga pastikan jangan ke area yang anginnya kencang.

Kedua, pemakai sarung dengan pelapis hanya celana dalam di baliknya. Jenis ini adalah mereka yang khawatir sarungnya mlorot, khawatir kain sarungnya tembus pandang ketika terkena sinar, khawatir berdiri di tempat umum sehingga perlu antisipasi minimal.

Ketiga, adalah mereka yang melapisi sarungnya dengan celana dalam plus celana pendek saat memakainya. Cara pakai seperti ini memiliki kekhawatiran yang sama dengan kategori kedua. Hanya saja kategori ketiga ini termasuk jenis yang fleksibel di samping karena kekhawatiran. Fleksibel karena, patut dicurigai, jenis ini suka melepas sarungnya pada momen-momen tertentu karena satu dan lain alasan seperti sedang santai berada di tempat yang lebih pas bercelana pendek.

Keempat, yang paling hati-hati, kebanyakan karena alasan fiqh. Kategori ini memakai sarung dengan lapisan celana panjang. Model celana panjangnya macam-macam ada yang gombrang ada yang celana biasa. Dengan memakai lapisan celana, pemakainya merasa aman bahwa aurat tidak akan terekspose ketika sujud saat sholat, atau lebih aman dari resiko terkena najis saat ke kamar mandi karena sarung bisa diangkat atau bahkan di lepas.

Disebut kebanyakan karena ada sedikit yang nakal ketika bersarung dengan lapisan celana. Nakal karena bisa jadi sarungnya berganti berada di balik celana. Ga percaya? Tanyakan ke santri yang suka nonton bioskop yang bersarung dengan lapisan celana saat di pondok tetapi kemudian bercelana dengan lapisan sarung di baliknya sesaat setelah keluar gerbang pondok.

Apapun sarung yang dipakai, bagaimanapun cara memakai sarung, jangan coba-coba menarik sarung yang sedang dipakai, dipastikan anda akan kena omelan. Ga percaya? Silahkan coba.


Risalah Terbaru