• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Selasa, 21 Mei 2024

Risalah

Gus Dur, Imlek dan Kita yang Gagap

Gus Dur, Imlek dan Kita yang Gagap
NU Online Jabar/Ilustrasi: NU Online Jatim
NU Online Jabar/Ilustrasi: NU Online Jatim

Oleh: Muhyiddin
“Banser? Gus Dur?” Sapa tiba-tiba seseorang saat saya duduk di kursi trotoar Braga empat tahun lalu. Kebetulan malam itu jaket Banser membungkus tubuh. Saya baru sempat menganggukkan kepala ketika dia, orang Tionghoa yang sudah berumur, melanjutkan sapaannya dengan berucap “temani makan.”

Saya pun mengikutinya berjalan dan masuk ke Rumah Makan Seafood di pengkolan sebelum Hotel Kedaton dengan semangat. Ditraktir seafood memang harus riang gembira dan karenanya saya berusaha menjadi pendengar yang baik sambil menunggu pesanan dan selama makan. Dari jam 10 sampai 12 malam dia banyak mengungkapkan kesan dan kekagumannya pada Gus Dur.

“NU? Gus Dur?” pertanyaan ini saya dapat lagi dua bulanan lalu saat makan di sebuah warung. Sebenarnya saya sudah sering makan di sini, Cuma kebetulan kali ini membawa motor PWNU yang tentu saja ada stiker besar logo NU dan tulisan PWNU Jawa Barat.

Pemilik warungnya Tionghoa meski warung khas makanan Cirebon. Sejak pertanyaan NU dan Gus Dur muncul, sekarang, tiap saya makan di situ ada suguhan tambahan: kopi gratis untuk menemani obrolan tentang Gus Dur dan NU. Sekali lagi berkah ... berkah ... berkah.

Ungkapan “Gus Dur selalu mbarokahi” saya rasakan betul dalam dua kejadian di atas. Meskipun Gus Dur menyebut dirinya keturunan Arab dan China, tetapi tetap Gus Dur adalah representasi seorang muslim, orang Jawa, dan NU. Jika orang Tionghoa kemudian menghargainya sebegitu rupa, sampai saya yang bukan siapa-siapanya ikut kecipratan berkah, bahkan dibaptis sebagai Bapak Tionghoa adalah bukti kebesaran seorang Gus Dur. Bisa dibilang di samping Desember, tahun baru Imlek adalah bulan Gus Dur.

Mengingat apa yang dialami orang Tionghoa di Indonesia selama Orde Baru, penghargaan ini sangat bisa dipahami. Selama 32 tahun melalui Surat Edaran Nomor 06/Preskab/6/67 tahun 1967 dan Inpres Nomor 14/1967 semua yang berbau Tiongkok harus hilang termasuk nama dan atribut-atribut lainnya.

Gus Dur, ketika jadi presiden, kemudian menggunakan kewenangannya untuk mengaadministrasikan apa yang sudah menjadi perhatian dan gagasannya sejak lama dengan menerbitkan Inpres Nomor 6/2000 yang mencabut larangan orang Tionghoa untuk mengekspresikan identitasnya dan diperkuat dengan Kepres Nomor 9 tahun 2001 tanggal 9 April 2001, Imlek sebagai hari libur nasional.

Apa yang dipikirkan, digagas Gus Dur tidak berhenti di pernyataan dan slogan tetapi diperjuangkan. Sebelum menjadi presiden, Gus Dur memperjuangkan gagasan dan keyakinannya lewat jalur sosial budaya. Meski sering disalahpami, Gus Dur jalan terus dan memilih jalan sunyi lewat silaturahmi untuk menjelaskan apa yang disalahpahami itu. Ketika jadi presiden, Gus Dur tidak lantas mencari selamat dengan melakukan kompromi tetapi memilih menggunakan kekuasannya untuk memastikan negara hadir melindungi segenap tumpah darah Indonesia.

Kemanusiaan di atas segalanya adalah jargon yang tidak hanya diucapkan tetapi dipraktikkan lewat jalur yang bisa digunakan oleh Gus Dur. Apa yang dilakukan Gus Dur adalah upaya membawa Indonesia pada situasi kebangsaan yang inklusif dan terbuka apapun ras, agama dan sukunya sama kedudukannya, memiliki hak dan kewajiban yang sama.

Orde Baru, dengan Surat Edaran dan Inpresnya tahun 1967 telah memaksa orang Tionghoa untuk menarik diri ke ruang-ruang privat dan dipaksa mengekslusifkan diri. Celakanya, sarung tangan beludru kekuasaan bekerja membentuk kesadaran umum bahwa orang Tionghoa adalah orang-orang yang eksklusif yang tidak mau membaur.

Gus Dur hadir membongkar struktur penindasan sekaligus mendorong pembauran. Tetapi tentu saja kesadaran ideologis tidak serta merta bisa dibongkar begitu saja. Gus Dur sudah membuka jalan pembauran itu dengan Inpres dan Kepresnya sekaligus mengambil strategi sosial budaya dengan bergaul dengan orang Tionghoa bahkan sejak sebelum menjadi presiden.

Tugas kita sekarang adalah melanjutkan jalan yang sudah dibuka Gus Dur dengan tidak hanya merawat ruang pembauran yang sudah digagas dan dibuka tetapi juga membuang kesadaran rasis yang masih ada di kepala banyak orang, dan bahkan mungkin juga masih hinggap di antara kita, anak-anak ideologis Gus Dur. Lha faktanya masih ada yang tidak mau bekerja sama berbagi pengetahuan dan sumber daya untuk kemajuan, hanya gara-gara mereka Tionghoa dan non-muslim. Angel wis angel, rujit.

Bagi sebagian yang sudah tidak lagi memiliki kesadaran rasis, problem yang sering muncul adalah rasa minder. Kita biasa bergaul dengan orang Tionghoa tetapi ketika mereka menawarkan “apa yang bisa kita kerjakan bersama-sama?” tiba-tiba kita gagap.

Jangan-jangan, kitalah yang ekskusif. Maaf Gus, kami baru bisa nadahi berkah kecil-kecil seperti ditraktir kopi dan makan, sementara berkah besarnya teu acan kaawakan.

Penulis adalah Sekretaris Redaksi jabar.nu.or.id dan NU Jabar Channel


Editor:

Risalah Terbaru